Merapikan Hidup, Menemukan Diri

Catatan tentang Self-Actualization ala Ibu Rumah Tangga

Tentang Folder Lama, Pertanyaan Baru, dan Diri yang Sedang Dicari

Minggu ini bener-bener seperti baterai HP yang udah lama nggak di-clear cache. Jadi lemot, panas dan berantakan banget. Masih dalam suasana kehilangan akun — tapi setelah ditelisik, bukan itu masalahnya. Saat merapikan folder lama, saya kembali melihat draft lama saat belajar tentang minimalism.

Selain bukunya Fumio Sasaki, Goodbye, Things (pernah saya bahas di YouTube 5 tahun yang lalu, aduh muda sekali ya saya di video ini: link), saya juga lumayan banyak membaca tentang filosofi KonMari-nya Bun Marie Kondo. Sepertinya memang jodoh ya saya nemu harta karun ini, karena memang sepertinya perlu merapikan pikiran.

Sering membahas self-actualization, mengajak IRT untuk melakukannya, apalagi punya kelas untuk itu. Dasarnya apa sih? Emangnya si Ibunya Boemi ini siapa? Certified atau engga? Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti ini melintas terus di kepala — ya kurang lebih semingguan ini. Pasti di luar sana banyak juga yang berpikir seperti ini.

Saya hanya seorang ibu-ibu biasa. Namun ketertarikan saya dengan self development atau pengembangan diri itu cukup lama. Sedikit flashback tentang background pendidikan, SMA saya direncanakan jadi dokter namun saya berencana jadi psikolog. Tapi saya malah jadi pedagang online. Iya, dari SMP sebenarnya. Tapi modal yang agak gede itu saat SMA (sukses di TUTUP). Akhirnya saya kuliah ekonomi dengan konsentrasi marketing. Tapi secara karir usaha saya tidak terlalu pro, terlalu idealis sih kalo kata saya. Kalau untuk karir profesional, kebetulan saya resign di waktu yang tepat saat "pengembangan", bahkan beberapa hari yang lalu saya dapat tawaran jadi staf ahli (lagi). Keputusan saya tetap sama, saya di rumah dulu membersamai anak dan tetap upgrade ilmu.

Mulai kebayang nggak maksud saya? Xixixi. Di beberapa stage kehidupan saya — daya "menuntut" diri saya untuk terus berkembang. Dari anak IPA yang bolak-balik olimpiade jadi harus berteman dengan hitung-hitungan usaha, strategi bahkan leadership. Kemudian dari yang belum lulus udah langsung kerja profesional, itu ibaratnya saya belajar naik motor kopling dan langsung turun ke jalan. Pace kerja yang tinggi membuat saya sulit bernafas. Itu sebabnya di waktu libur saya memilih untuk membaca, belajar hal baru dan open booth jualan.

Lalu apa hubungannya bun sama self-actualization? Bentar saya cerita dikit ya fase menuju perpindahan dari kerja profesional ke jadi Ibu Rumah Tangga.

Awalnya jujur saya happy-happy aja, saya bebas scrolling sosmed semaunya, belanja tinggal check out aja karena masih ada saldo, sisanya ngurus rumah — bagian ini bikin happy karena dulu waktu kerja bisa seminggu nggak pulang-pulang entah karena kerjaan yang numpuk atau tugas luar.

Tibalah kondisi itu menyerang, saya tiba-tiba merasa kosong beberapa waktu setelah resign. Saya takut gila, sebab saya ini anak pertama — kalau di biologi disebut filial pertama — dan kakek kandung saya pernah mengalami gangguan jiwa. Mungkin kalau beliau tidak gila, sekarang udah jadi profesor saking pintarnya. Tekanan hidup membuat pengelolaan emosinya goyah. Ayah saya bisa jadi gila juga — kayaknya kalau beliau lebih ke gila belajar. Salah satu guru teladan di Bali pada masanya, lanjut S2 dan sekarang jadi master hipnosis.

Kalau saya diam saja berlarut dalam kondisi "kosong" itu, bisa jadi kan saya akan gila?

Diawal ngonten di Instagram, saya buka kembali folder kuliah dan menemukan lagi teori Maslow. Ternyata hal yang kita bahas dari tadi itu juga sebuah KEBUTUHAN. Iya, benar. Self-actualization itu kebutuhan tertinggi.

Menyambungkan Self-Actualization dan Metode Marie Kondo

Waktu baca ulang tentang filosofi KonMari, saya jadi teringat bahwa prinsip “spark joy” itu bukan cuma buat barang. Tapi bisa banget dipakai untuk merapikan hidup. Seperti pertanyaan ini:

Apakah aktivitas ini spark joy? Apakah pilihan ini mendekatkan saya pada diri saya yang lebih otentik?

Saya mulai “decluttering” juga, bukan cuma folder digital, tapi juga ekspektasi. Ekspektasi harus tetap produktif padahal sedang jadi IRT. Ekspektasi harus terus menginspirasi padahal sedang merasa kosong. Ekspektasi harus paham arah hidup padahal kadang masih bingung sendiri.

Marie Kondo menyarankan untuk menyentuh tiap barang dan bertanya: “Apakah ini memberi kebahagiaan?” Saya mulai menyentuh ulang aktivitas saya, rutinitas saya, bahkan rencana-rencana yang sempat tertunda. Lalu saya mulai memilah:

Mana yang saya lakukan karena ingin?

Mana yang saya lakukan karena merasa harus?

Di sinilah self-actualization menemukan jalannya. Bukan melalui seminar mewah atau retreat berhari-hari, Tapi dari dapur, dari waktu bermain dengan anak, dari malam-malam membuka folder lama, dari tulisan-tulisan seperti ini. Dan dari pertanyaan sederhana: “Apa yang membuatku merasa hidup hari ini?”

Menemukan Diri Lewat Hal-Hal yang Tak Terlihat

Mungkin, jadi IRT itu bukan tentang mengorbankan potensi — Tapi menemukan potensi yang tersembunyi di tengah rutinitas. Mungkin, self-actualization itu tidak harus terlihat hebat di luar, Tapi cukup terasa dalam.

Buat kamu yang sedang menjalani fase ini — sedang merasa kosong, tidak pasti, atau bahkan mempertanyakan diri sendiri — semoga tulisan ini seperti teman kecil yang menemani. Kamu nggak sendirian. Dan perjalanan self-actualization kita sah-sah aja kalau bentuknya belum “sempurna”.

Kalau kamu ingin berbagi cerita, aku senang banget kalau kamu balas email ini. Atau cukup renungkan satu hal ini hari ini: Apa yang ingin kamu beri ruang dalam hidupmu — karena itu spark joy buat dirimu sendiri?

Teruntuk teman-teman yang membaca tulisan ini. Silakan komen atau DM untuk feedback berupa kritik atau saran tulisan selanjutnya. Termasuk juga jika ada pertanyaan yang sekiranya bisa saya ulas lebih dalam juga silakan feel free untuk menghubungi saya.

Bisa klik tombol ini untuk mendapatkan akses ngobrol bareng ibunyaboemi.

Klik tombol ini untuk support tulisan-tulisan Ibun ya.

Reply

or to participate.