Dear Creator, Ngonten Perlu Tujuan atau Cukup Ikuti Arus?

Sebuah refleksi bagaimana awal @ibunyaboemi

1. Ngonten Tanpa Tujuan: Apakah Itu Salah?

Tidak semua orang mulai ngonten dengan goal yang jelas. Beberapa hanya ingin berbagi cerita, mendokumentasikan kehidupan, atau sekadar mencoba hal baru. Dan itu fine! Tapi tanpa tujuan yang jelas, sering kali muncul rasa bingung, kehilangan arah, atau bahkan mudah menyerah saat hasil tak sesuai ekspektasi.

Saya termasuk yang memulai ngonten tanpa tujuan jelas. Awalnya, saya hanya ingin mengisi waktu luang di sela-sela mengurus rumah dan anak, saat saya masih bekerja dan belum memutuskan untuk resign. Konten saya waktu itu hanyalah dokumentasi keseharian: menjalankan small business, aktivitas bersama anak, dan kegiatan sehari-hari di rumah. Saya sama sekali belum berpikir untuk memaksimalkan media sosial.

Namun, setelah saya resign dan lebih banyak di rumah, ada hari-hari di mana saya merasa hampa. Saya terbiasa dengan ritme kerja yang padat, jadi ketika waktu luang terasa terlalu banyak, justru muncul rasa kosong dan kurang berdaya. Dari situ, saya mulai bertanya pada diri sendiri: Bagaimana kalau aku mulai memaksimalkan media sosialku?

Walaupun saya bekerja di bidang ini, membranding diri sendiri ternyata cukup menantang. Di awal, saya hanya punya satu tujuan sederhana: muncul. Saya menetapkan target untuk posting satu konten per hari, entah itu video panjang, pendek, atau sekadar dokumentasi kecil. Isinya? Masih tentang diri saya sendiri—kegundahan seorang ibu yang mengalami career shift dan ingin mengaktualisasi diri.

Platform yang saya coba pun beragam: TikTok, Facebook, Instagram, dan YouTube. Sampai akhirnya, saya memilih untuk fokus di Instagram.

Jadi, bisa dibilang saya memulai ngonten tanpa tujuan di awal, bukan? Bagaimana menurutmu?

Ilustrasi oleh Ibunya Boemi

2. Goals Besar vs. Goals Kecil: Mana yang Lebih Penting?

Setelah mantap untuk mengasah keterampilan saya dan memaksimalkan media sosial, saya mulai menetapkan goals besar. Namun, saya menyadari bahwa tujuan saya saat itu terlalu besar hingga terasa berat untuk dicapai. Karena itu, saya memecahnya menjadi goals kecil setiap hari, agar tidak terlalu overthinking jika ada yang belum tercapai. Saya buat lebih sederhana, seperti to-do list harian. Dari kebiasaan inilah lahir Feminine Content System.

Simon Sinek dalam Start with Why menekankan pentingnya memiliki WHY sebelum melakukan sesuatu. Ini juga berlaku dalam pembuatan konten. Apakah tujuanmu ingin membangun personal brand? Monetisasi? Atau sekadar mengekspresikan diri?

Tapi ingat, tujuan besar perlu dipecah menjadi langkah-langkah kecil. Seperti yang dikatakan James Clear dalam Atomic Habits:

"You do not rise to the level of your goals. You fall to the level of your systems."

James Clear

Mungkin karena saya sudah terpapar Atomic Habits sejak 2021 atau memang lebih nyaman dengan small goals, kebiasaan ini terasa natural bagi saya. Ditambah lagi, saat masih bekerja, saya terbiasa dengan sistem to-do list dan pencapaian bertahap.

3. Menemukan Tujuan yang Tepat untuk Kontenmu

Mei 2024, konten saya mulai meledak. Saya terbiasa masuk FYP dengan jumlah likes, comments, dan views yang cukup besar. Dunia terasa berpihak pada saya. Hingga akhirnya, sekitar Agustus, mulai bermunculan komentar-komentar jahil dan tidak pantas.

Teman-teman di dunia nyata yang tidak terima ikut membela saya di kolom komentar. Sayangnya, hal ini justru memperparah situasi—para trolls makin senang, dan akhirnya Instagram notifications saya jebol karena serangan komentar mereka.

Selama dua minggu itu, saya benar-benar down. Saya menangis, merasa mental saya terpukul, dan harus berurusan dengan sekitar 200 pesan, komentar, serta akun yang harus saya hapus dan blokir. Dari situ, saya belajar satu hal penting: menanggapi mereka hanya akan menghabiskan energi dan mengacaukan fokus saya. Seharusnya, saya sudah menerapkan batasan ini sejak awal.

Ilustrasi oleh Ibunya Boemi

Lalu, bagaimana dampaknya ke algoritma akun saya?
Engagement saya anjlok. Rasanya seperti harus membangun dari nol lagi. Banyak teman yang mulai notice bahwa saya jarang muncul di timeline mereka.

Tapi ada hal yang saya sadari:
Meskipun angka-angka menurun, cukup banyak orang yang tetap mengingat saya hanya dari konten yang saya buat dalam waktu singkat. Ini yang ingin saya bagikan kepadamu.

Alih-alih hanya fokus mengejar angka followers dan views, coba tanyakan pada dirimu:

✔ Apa yang membuatku menikmati proses ngonten?
✔ Nilai apa yang ingin kubagikan?
✔ Dampak seperti apa yang ingin kutinggalkan?

Gary Vee percaya bahwa tujuan jangka panjang lebih penting daripada viralitas sesaat. Konsistensi dan passion akan memberikan hasil lebih besar daripada sekadar mengejar angka.

Sejak itu, saya memutuskan untuk menyebarkan values yang membentuk saya sebagai @ibunyaboemi—bukan sekadar angka dan viralitas. Saya ingin dikenal bukan hanya sebagai Ibu Rumah Tangga biasa, tapi sebagai seorang Ibu yang tetap bisa self-actualization dan menyebarkan nilai serta semangat yang saya yakini.

Ilustrasi oleh Ibunya Boemi

Teruntuk teman-teman yang membaca tulisan ini. Silakan komen atau DM untuk feedback berupa kritik atau saran tulisan selanjutnya. Termasuk juga jika ada pertanyaan yang sekiranya bisa saya ulas lebih dalam juga silakan feel free untuk menghubungi saya.

Reply

or to participate.